Hanya aku yang tinggal
dirumah pagi ini, tapi aku yakin tidak akan kesepian. Mbak nur ibu beranak satu
itu pasti sebentar lagi akan datang. Aku sengaja duduk diteras melihat kabar
kampung halamanku yang telah sudah hampir setahun ini aku tinggalkan. Yach, aku
memang jarang pulang karena jarak yang bagiku terlalu jauh juga karena pdatnya
kegiatan yang tidak mungkin aku tinggalakan. Sedikit aneh, sudah lima kali lek
Udin bolak balik seperti harus menyelesaikan sesuatu yang sangat penting,
wajahnya seperti cemas. Tapi dia kan memang orang penting dan disiplin mungkin
saja dia memang biasa seperti itu. Atau
mungkin hanya sekedar menjajal motor barunya, atau mungkin itu motor orang
lain. mana mungkin motor orang lain, kabarnya sekarang dia menjadi Penilik
Sekolah. Itu tandanya bertmabah lagi jabatannya. Beruntung adik ibuku
mendapatkan suami seperti dia.
“assalamu’alaikum, nduk kamu kok masih dirumah. Ayo kerumah
Bu Fatimah.”
“wa’aialaikum salam mbak. Dari tadi saya menunggu sampean
mbak”
“loh katanya bu lekmu meninggal kok malah nunggu aku.”
Baru saja kemaren pagi dia datang menggendong putra bungsunya
meskpun tinggal menunggu jam saja anak dalam kandungannya melihat dunia. Dan
baru kearen sore saat keluarga kami berbuka puasa anaknya lahir dan lagi-lagi seorang
jagoan. Tak ada yang tahu kapan dia operasi cecar, mungkin itu sudah menjadi
kebiasaan sehingga mungkin tidak perlu berpamitan dengan keluarga.
“ayo nduk, sampean kabari ibumu di toko.”
Entah apa yang aku fikirkan. Keanehan lek Udin terjawab
sudah. Karena ini. Tak ada yang pernah menyangka. Dua kali operasi cecar, dua
jagoan tak sanggup bertahan. Dan ini kali terakhirnya, jagoan mampu bertahan
tapi Ibu menyerah.
Kuhentikan langkahku, delapan orang berbaring lemah. Puluhan
mata banjir, semua menatap bocah berusia 12 tahun dengan seragam pramuka duduk
lemah dalam pelukan ibuku, air matanya mengalir perlahan sambil mulutnya terus
beristigfar. Bocah yang selalu merengek apapun pada seorang wanita cantik,
berkulit putih dan berbadan tinggi. Yang selalu dia panggil “Bu’e”. Ambulance
datang, abahnya ambruk dalam peluknya. Dia lepaskan pelukan abahnya, dia ciumi
wajah cantik ibunya yang tersenyum. Dia elus-elus pipinya. Terus mulutnya
beristighfar, meminta semua yang datang memaafkan ibunya dan membacakan Fatihah
untuknya. Dia tatap adik kecilnya yang menangis membawa botol susu, bocah kecil
berusia satu tahun enam bulan itu yang tak pernah mau melepaskan tangan ibunya
saat dia tidur, tidak mau mandi jika bukan ibunya yang mengguyurkan air ketubuh
mungilnya, tidak mau makan jika bukan ibunya yang membawa piring nasinya. Dan
saat membuka matanya langsung menggandeng tangan ibunya, berkeliling kampung,
menyapa siapa saja yang dia tahu meskipun cara bicaranya tidak jelas.
Sedang disudut sana seorang enam tahun menangis dan berucap
“menantu kesayanganku”. Dia nenekku. Terus menangis bersama delapan orang yang
terbaring lemah. Seorang dokter berambut panajng, entah siapa namanya,
berkalungkan teleskop meletakkan dan menyentuh
mereka satu persatu. Berusaha agar mereka cepat pulih.
Hari ini tepat dihari jum’at, 15 Romadlon menggoreskan sejarah
yang tak pernah kami sangka. Pertama kalinya aku melihat air mata yang begitu
deras mengalir sebanyak ini dikeluarga beasarku. Bahkan orang-orang yang tak
aku kenal. Begitu cepat. Tak ada yang memiliki firasat, mungkin si kecil yang
sejak tadi sore menangis sampai pagi tadi. Yach, tangisan si kecil tadi malam
adalah firasat. Tapi jodoh, umur dan rizki telah di atur oleh sang Maha
Segalanya dengan rapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar