Mengapa bulan malam ini terus tersenyum padaku, tak tahukah dia
hatiku tak bisa tersenyum? Tapi biarlah, fikirku.
Kepalaku tertunduk, fikirku melayang terbayang goresan tinta dalam
kanvas hidupku yang tercecer bersama rasa yang tak tentu, hingga jatuh lalu pergi
jauh dan semakin jauh terbang bersama angin. Kerlip kembang api dari arah taman
kota mencoba mengalahkan kerlip bintang, indah memang tapi ciptaan Allah akan
tetap terindah. Beruntung kamarku ada di lantai tiga. Kami menjuluki komplek
VIP, memang hapir semua anak di komplek atas ini memiliki uang jajan yang lebih
dibanding yang lain. Padahal tak ada seleksi untuk itu. Kami semua disini sama.
Namun kami saja yang kebetulan beruntung bisa melihat keramaian kota, semua
lampu kamar menyala saat ada giliran pemadaman lampu, dan seperti sekarang ini,
setiap jam delapan malam beberapa dari kami ada yang iseng bermain senter
dengan pondok putra.
Sulit sekali mata ini terpejam,
bukan karena Ujian Nasional yang membuat teman-temanku stress sampai nafsu
makan mereka hilang. Entah kenapa mata dan hati ini terasa sangat sakit. Kenapa
ayang gadis manis yang selalu tersenyum manis saat aku bersamanya enggan pergi?
Kenapa adikku benci sekali dengannya. Bayang Ibu yang terdiam meneteskan air
mata selalu menusuk hatiku. Bayang ayah yang penuh wibawa tersenyum kecut
kepada adik kecilku yang matanya penuh dengan rasa takut, kecewa ingin berontak
tapi tangan dan langkagnya terbelenggu. Inginku buang jauh rasa apa ini,
membuat dadaku terasa sangat sesak saja.
Klarkll. . . .
Suara itu. Aku yakin mas Faris datang, satu pesan aku kirim ke mas
Faris. Aku ambil jamper hitamku yang tergantung dibelakang lemari. Aku membuka
pintu pelan dan mengendap-endap layaknya pencuri. Aku tak menyangka mas Faris
sudah menunggu didapur sebuah kamar kosong karena semua juru masak sekarang
tidur di aula asrama. Aku tahu ini hal
yang sangat bodoh bahakan aku sudah seperti orang gila berani bertemu mas Faris
disini saat semua orang terlelap.
“ada apa neng? Ini sudah sangat larut.
Apa yang mengganggu fikiranmu neng?”
“entahlah mas, aku tak mengerti. Aku
seperti tak mengenal keluargaku sendiri sekarang ini mas. Semua begitu aneh”
npa Mas
Faris memelukku. Ada yang aneh, ini salah besar. Tapi hatiku tenang saat dia
mengusap lembut kepalaku. Hatiku terus beristighfar, sakit hati, kecewa takut dan
entah apa lagi.
“jangan pernah menyakiti hatimu
dengan prasangka buruk neng. Aku yakin neng Nisa akan tetap menjadi bintang
dihati ayah, ibu keluargamu dan begitu juga dihatiku.”
Aku hanya mengangguk dan pergi meninggalkan mas Faris. Hatiku
sedkit tenang. Aku tak ingin memejamkan mataku malam ini. Aku ingin bermunajat
pada Sang pemberi petunjuk. Setelah sholat shubuh aku langsung bersiap pulang, tak
sabar rasanya tahu bagaimana keadaan keluargaku. Kejadian kemaren benar-benar
mebuatku bingung. Aku yakin aku mendengar ibu menangis, tapi kenapa ayah bilang
begitu?
Aku memeilih bus yang bertuliskan daerahku yang ada dijendela
belakang bus. Sampai kecamatan tidak ada yang menjemputku, aku mencari ojek
karena aku tak sabar dan membutuhkan waktu kalau aku menunggu jemputan.
Tak ada yang menyambutku. Sepi
sekali rumahku, hanya terdengar suara anak-anak yang menghafalkan nadzom
imrithy. Aku masuk ke kamar lalu mencium tangannya. Ibu hanya tersenyum dan
tidak berkata apapun padaku. Biasanya aku langsung cerewet menceritakan apapun
saat aku pulang, tapi kali ini aku memilih keluar dan membiarkan Ibu sendiri. Aku tahu ada yang aneh, tapi biarlah dulu aku harus berusaha
mengerti dan hati-hati. Belum sempat aku menutp pintu, ayah menraik
tanganku menuntunku duduk disamping ibu.
“ayah minta maaf pada kalian. Pada ibu, ayah tidak
bermaksut menyakiti hati ibu. Dan kepadamu nduk, ayah tidak bermaksut
membohongimu dengan memintamu menyayangi dia seperti kamu mencintai adikmu. Ayah
sudah berusaha, dan keputusan ayah akan tetap menyayangi dia. Bukan berarti
menyayangi untuk dinikahi tapi menyayanginya sebagai anak.”
Semua diam, tak akan ada yang bisa merubah
keputusan ayah selain ayah sendiri. Ayahku mencintai santrinya, teman adikku. Yang
dulu ayah bilang anak angkatnya, sucikah cinta ayah? Lalu sucikah cintaku
dengan mas faris? Aku mencintainya karena gamanya, tapi apa yang aku lakukan
semalam memeluknya. Ya Rabb, bukankah cinta yang suci adalah cinta yang
anugrahkan kepada hambamu dan tidak menyakiiti hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar