Label

Selasa, 10 April 2012

Amak Ipul bukan pencuri!


Maaf
Hanya kata itu yang bisa atau mungkin hanya itu yang pantas aku katakan pada amaknya ipul. Kejadian tadi pagi pasti membuatnya sakit hati, perbutanku memang keterlaluan.  Tidak seharusnya aku marah dan menuduhnya mencuri daganganku. Bisa saja pemilik warung itu salah lihat atau sekedar mengira ngira saja. tapi bagaimana tidak aku percaya, saat aku pergi hanya dia yang beradadirumahku. Sedangkan semua barang daganganku ludes, hanya tersisa 1 mangkung sambel saja. sungguh membuat panas hatiku. Ditambah lagi, Si Ipul yang biasanya menangis karena kelaparan, pagi itu dia terlihat sangat bahagia.
Ach tapi jahat sekali aku telah kasar pada orang yang sudah aku anggap saudara itu. Lagipula, mana mungkin orang baik seoerti dia mencuri? Bukan aku sudah mengenalnya sejak aku kecil? Dan tak pernah aku dapati mereka berbuat jahat atau yang dilarang agama. Bapak Ipul juga tergolong orang yang religius. Apa mungkin karena Ipul lapar? Tega sekali aku. Aku harus minta maaf pada merka. fikirku !
                “asslamua’alaikum” hanya suara Ipul yang ku dengar. Dia tersenyum kecut lalu wajahnya tertunduk lagi. Ada apa dengan anak ini? Apa dia tahu aku marah pada Ibunya tadi pagi? Ach, aku sangat menyesal.
“kenapa kamu sedih Pul? Apa mbak salah padamu? Tadi pagi kau ceria sekali.”
 “aku lapar” jawabnya singkat
“bukannya tadi pagi kau sudah makan. Ech ya, mana Amak dan Bapakmu?”  rasa curigaku pada Amak Ipul masih ada.
“belum. Amak bohong padaku. Kemarin dia berjanji padaku pagi ini aku akan sarapan sayur bayam dan tempe goreng tepung. Tapi tadi sebelum amak pergi ke tukang batu Amak bilang aku sarapan sepotong singkong bakar saja hari ini.”
“untuk apa amakmu pergi ke tukang batu?”
“ amak bilang amak punya hutang dengan orang. Padahal Amak bilang kalau tidak mepet tidak boleh hutang. Tadi pagi aku juga bersama Amak terus, hanya  habis shubuh tadi aku mandi di sumur belakang bersama Bapaka. Tadi ibu warung bilang Amak mencuri.”
“ach, tak usah kau pedulikan ucapan Ibu wrung itu. Pasti dia sedang bercanda saja. ayo ikut mbak ke depan, lalu pergi menusul Amakmu” kupegang pundak anak berusia delapan tahun itu.
“ke depan mana mbak?”
“sarapan dengan sayur bayam dan tempe tepung! Kau tunggu sebentar aku ambil uang dulu.”
“benarkah mbak? Asyiik, , , , aku makan sayur bayam gratis. Cepat ya mbak!”
Aku biarkan dia bersorak kegirangan, ada rasa haru saat aku liat dia seceria itu. Tak apa meski aku harus membuka celenganku. Rasanya rasa bersalahku sedikit berkurang. Setelah dia lahap habis seporsi nasi dengan sayur bayam dan tempe tepung kami mencari Amak Ipul yang ternyata tidak ada di tukang batu. Entah kemana perginya wanita itu.
Ada yang aneh rasanya. Semua orang menyapa kami dengan ragu, lalu berbisik dibelakang. Apa salah kami. Sampai aku tahu jawabannya.
“aku bukan pencuri Pak!!!!! Aku hanya ingin meminjamnya untuk mengambil untuk memukul pencopet yang tadi lewat!” Amak Ipul menangis, semua orang melihatnya penuh dengan rasa entah itu iba atau jengkel. Satu yang ku tahu ini tidak adil. Sangat tidak adil. Hanya sebuah payung seharga tigapuluh ribu, Amak Ipul harus merasakan tidur di dalam penjara disamakan dengan para preman, pencuri, pecandu bahkan pemerkosa.
Kupeluk erat Ipul yang dari tadi menangis, berteriak. Berontak.  Tubuh kurusnya  mendadak sangat lemas saat Amaknya yang setiap malam mengajarinya mengaji dan membaca meskipun dia harus putus sekolah.
“Amakku orang baik, Amakku selalu sholat.”
“Amakku bukan pencuri, kalian jahat. Amak Ipul bukan pencuri. Jangan bawa amak pergi pak”
Ingin rasanya aku membakar rumah polisi sombong itu. Inilah Negeriku. Hukum milik orang kaya. Orang beruang yang berkuasa, merasa besar. padahal mereka adalah tikus kecil yang kotor dan merusak. Menggerogoti sedikit demi sedikit milik kami.
Aku yakin Amak Ipul bukan pencuri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar