Label

Selasa, 19 November 2013

Hujan lima belas tahun lalu

tak ada yang istimewa hari ini. aku berdiri dibalik jendela kaca yang sedikit tertutup sisa cipratan air hujan siang tadi. memang, hujan selalu mengguyur sepekan terakhir. mungkin dia tahu ada banyak hati yang terluka karena asmara. tidak. sebenarnya memang karena musim hujan telah datang.
dulu. waktu aku masih dipanggil oon. lima belas tahun yang lalu tepatnya. aku begitu bahagia, meskipun semua orang bilang aku bukan anak yang periang, tidak banyak bicara dan sering menangis di kolong meja atau dibelakang lemari buffet yang dipakai sebagai dinding anatara ruang tamu dan ruang tengah. aku bahagia karena aku selalu berada dirumah saat aku hujan.
lima belas tahun yang lalu aku anak pertama. adikku masih satu. sore itu hujan tak henti mengguyur sejak subuh. dari aku berangkat sekolah hingga semua temanku di jemput pulang. mereka berjingkrak kegirangan saat ibu mereka datang, mereka berteriak memanggil ayah mereka saat melihat motor ayahnya terparkir dihalaman. bahkan mereka berlari cepat lalu berlindung dibawah payung yang dibawakan untuk melindungi mereka sampai di rumah. satu dua hhingga habis. aku sendiri bersama Bu Lis. Guruku. dia menungguku sampai ada yang membawakan payung, daun pisang atau jas hujan untukku. hujan masih deras. HIngga adzan duhur berkumandang dia tak mau berhenti. dan tak ada seorangpun yang datang untukku. jika Bu Lis tak ada, aku sudah menangis. saat suami Bu Lis datang menjemput dia ham pir menolak karenaku.
"saya mau hujan-hujanan saja Bu." tanpa menunggu jawaban Guru yang setiap hari mengajakku bernyanyi itu aku berlari. aku menangis. air mataku mengalir bersama hujan. beberapa orang memanggilku. aku tak ingin melihat mereka.
rumahku tertutup rapat saat aku datang. aku masuk lewat dapur karena badanku basah. aku mengganti pakaianku. tak ada suara. tak ada motor Ayah. aku buka satu persatu pintu kamar. Ibuku sedang tertidur pulas memeluk adikku. rasanya aku ingin menangis lagi. tapi badanku sudah menggigil. aku mengunci kamar belakang dan memakai tiga selimut.
adzan asar berkumandang. aku tak kunjung bisa memejamkan mata. tapi tubuhku sudah sedkit hangat. Apa Ibuku tak mencariku. aku merasa seperti bukan anaknya. aku keluar rumah. melihat kolam ikanku. airnya hampir penuh karena air hujan. suangai disamping kanan rumahku sudah meluap. hampir naik hingga rumahku. padahal hujan sudah tak begitu deras.
"Ibu..."
"iya." ibu menjawabnya dari jauh. aku tak mengharap lagi ibu menanyakan bagaimana aku pulang tadi, karena aku akan semakin kecewa. yangkufikirkan hanya nasib ikanku jika air suang semakin naik. yang kufikirkan bagaimana dengan Ayah jika dia tak bisa pulang.
"banjir Bu!"
tak ada jawaban. Ibu terus mengaduk bubur kacang hijau dengan irisan pisang yang hampir mendidih. lalu berjalan ke pintu dan melihat keluar.
"ternyata sudah banyak orang yang melihat. aku malu." aku masih tidak mengerti apa maksud Ibu.
Ibu menutup pintu WC yang ternyata sudah banyak air yang menggenang karena pralon pembuangan langsung kesungai. aku berlari keluar berniat mengambil ikan-ikan kecilku. ternyata cepat sekali air meluap. air sudah naik di lantai rumahku. kolam ikanku sudah tak lagi terlihat. beberapa orang berteriak karena sapinya hanyut. semua bebek ayah juga hanyuk. album foto, kaos kaki belangku, tempat sampah, piala Ayah dan buku gambarku. semua hanyut. beberapa orang menebang phon pisang didiepan rumahku. menutup bagian bawah pintu dapur, pintu dan semua pintu samping agar air tak masuk ke rumahku. adikku masih pulas dibwah selimut birunya. mungkin dia masih mengajar, atau mungkin menunggu hujan dipesantren.
pukul lima sore. Ayah pulang, semua pintu rumahku sudah tertutup sebaian dengan potongan pohon pisang. ayah menggenong adikku dan duduk disamping Ibu. aku tak berani mendekat. aku hanya menatap mereka saja.  hingga hujan kembali mengguyur dan aku kembali menangis.
Ayah selalu tahu saat aku menangis. hanya ayah dan aku bahagia. meski hanya ayah tapi aku bahagia. hingga aku tertidur disamping Ayah. mataku terbuka saat belaian dikepalaku berbeda. ini bukan tangan Ayah. aku berpura pura menampel nyamuk dipipi kananku. dan aku tahu itu bukan Ayah tapi Ibu.
hujan lima belas tahun yang lalu tak akan terulang lagi. hhujan limabelas tahun lalu membuatku tahu diam bukan berarti tak menyayangi.