Nyanyian jangkrik yang menemani riangnya bintang-bintang,
bergandengan mengelilingi bulan yang tersenyum manis seolah mereka ingin
menghibur hati bidadari yang di selimuti mendung. Aku berdiri di balik jendela kaca dengan gorden warna biru
bermotif bunga- bunga yang sengaja kubuka separo hingga angin malam itu bisa
menampar halus tubuhku. Kepalaku tertunduk lesu mengingat untaian kisah yang
tercecer dalam kanvas hidupku.
Fikiranku melayang terlihat wajah
almarhum ayah, wajah lembut ibu dan perjodohanku dengan Gus Haydar, putra dari
pemilik pesantren Al-Manar di mana aku
tinggal sekarang mulai 6 bulan lalu. Perjodohan yang membuatku
terpenjara, aku masih sangat muda untuk menerima ini, tapi aku juga tak sanggup
menolak permintaan terakhir ayah. Tak banyak yang aku tahu tentang keluarga
pesantren, tapi cukup bagiku untuk tahu siapa gus Idang begitu panggilan akrab
calon suamiku. Beliau punya watak yang keras dan kaku, untuk persoalan agama.
Beliau selalu menganggap negative mereka yang menjadi mahasiswa dan bukan
seorang santri, baginya malaikat tak menanyakan apa gelar yang ia sandang di
dunia, itu yang selalu ia katakanan pada kami setelah jama’ah. Lalu bagaimana
dengan mimpiku? Aku punya mimpi, menjadi gadis yang berprestasi yang nantinya
akan menjadi mahasiswi yang aktif di berbagai organisasi kampus, nantinya lulus
dengan predikat coumlout. Apa salahnya aku seperti itu? Toh aku juga menguasai
semua ilmu agama yang ayah ajarkan di pesantren meskipun aku putranya tapi aku juga santrinya. Dan
bagaimana dengan cintaku, mas Khowas yang dua tahun lalu melanjutkan studynya
ke Syiria. Ach biarlah fikirku.
Malam telah sangat larut, aku memutuskan untuk
mengakhiri lamunanku dan berharap akan aada mimpi indah yang akan jadi nyata.
Pagi itu kulangkahkan kakiku dengan hati dan jiwa bergetar, di ruang
tengah Ibu dan gus Idang telah menungguku, aku lega mereka tak membicarakan
pernikahan. Ibu memintaku untuk membantu mempersiapkan kepulangan putra
terakhir beliau, entah dari mana dan seperti apa dia aku tak tahu dan tak ingin
aku mencari tahu tentang dia, toh nanti aku akan tahu. Hampir semua aku tangani
di bantu beberapa santri hanya masak yang tak aku sentuh karena aku memang tak
mahir dalam hal memasak, aku seperti bos yang melihat para karyawannya bekerja di dapur.
Ba’da magrib semua telah berkumpul, siap menyambut kedatangan sang
pengeran. Tapi tidak bagi gus Idang,
entah apa yang dia fikirkkan di sudut ruang yang kecil tapi indah ini. Terdengar suara
mobil berhenti di depan dab bunyi
kalkson sebagai tanda sang pangeran datang semua keluar
dan neng Novi menggandeng tanganku mengajakku keluar. Semua menyalami dan memeluknya. Dan aku tak
sanggup lagi melangkahkan kakiku, hatiku tercambuk, jiwaku terpaku, dia cintaku.
Dia mas Khowas, mas khowasku adalah gusku, cintaku akan menjadi adikku nanti,
terbersit rasa bahagia senyumnya telah kembali tapi matanya ku rasakan dia
menyembunyikan rasa yang sama seperti yang kurasa, tapi
seolah semua baik-baik saja. Ya Rabb, ampunilah dosa
hambamu ini berilah kekuatan pada hamba, tetesilah hati hamba dengan sejuknya
embun.
****
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar