Label

Kamis, 01 Maret 2012

PILIHAN



Nyanyian jangkrik yang menemani riangnya bintang-bintang, bergandengan mengelilingi bulan yang tersenyum manis seolah mereka ingin menghibur hati bidadari yang di selimuti mendung. Aku berdiri di  balik jendela kaca dengan gorden warna biru bermotif bunga- bunga yang sengaja kubuka separo hingga angin malam itu bisa menampar halus tubuhku. Kepalaku tertunduk lesu mengingat untaian kisah yang tercecer dalam kanvas hidupku.
Fikiranku  melayang terlihat wajah almarhum ayah, wajah lembut ibu dan perjodohanku dengan Gus Haydar, putra dari pemilik pesantren Al-Manar di mana aku  tinggal sekarang mulai 6 bulan lalu. Perjodohan yang membuatku terpenjara, aku masih sangat muda untuk menerima ini, tapi aku juga tak sanggup menolak permintaan terakhir ayah. Tak banyak yang aku tahu tentang keluarga pesantren, tapi cukup bagiku untuk tahu siapa gus Idang begitu panggilan akrab calon suamiku. Beliau punya watak yang keras dan kaku, untuk persoalan agama. Beliau selalu menganggap negative mereka yang menjadi mahasiswa dan bukan seorang santri, baginya malaikat tak menanyakan apa gelar yang ia sandang di dunia, itu yang selalu ia katakanan pada kami setelah jama’ah. Lalu bagaimana dengan mimpiku? Aku punya mimpi, menjadi gadis yang berprestasi yang nantinya akan menjadi mahasiswi yang aktif di berbagai organisasi kampus, nantinya lulus dengan predikat coumlout. Apa salahnya aku seperti itu? Toh aku juga menguasai semua ilmu agama yang ayah ajarkan di pesantren meskipun aku putranya tapi aku juga santrinya. Dan bagaimana dengan cintaku, mas Khowas yang dua tahun lalu melanjutkan studynya ke Syiria. Ach biarlah fikirku.
Malam telah sangat larut, aku memutuskan untuk mengakhiri lamunanku dan berharap akan aada mimpi indah yang akan jadi nyata.
Pagi itu kulangkahkan kakiku dengan hati dan jiwa bergetar, di ruang tengah Ibu dan gus Idang telah menungguku, aku lega mereka tak membicarakan pernikahan. Ibu memintaku untuk membantu mempersiapkan kepulangan putra terakhir beliau, entah dari mana dan seperti apa dia aku tak tahu dan tak ingin aku mencari tahu tentang dia, toh nanti aku akan tahu. Hampir semua aku tangani di bantu beberapa santri hanya masak yang tak aku sentuh karena aku memang tak mahir dalam hal memasak, aku seperti bos yang melihat para karyawannya bekerja di dapur.
Ba’da magrib semua telah berkumpul, siap menyambut kedatangan sang pengeran. Tapi  tidak bagi gus Idang, entah apa yang dia fikirkkan di sudut ruang yang kecil tapi indah ini. Terdengar suara mobil berhenti di depan dab bunyi kalkson sebagai tanda sang pangeran datang semua keluar dan neng Novi menggandeng tanganku mengajakku keluar. Semua menyalami dan memeluknya. Dan aku tak sanggup lagi melangkahkan kakiku, hatiku tercambuk, jiwaku terpaku, dia cintaku. Dia mas Khowas, mas khowasku adalah gusku, cintaku akan menjadi adikku nanti, terbersit rasa bahagia senyumnya telah kembali tapi matanya ku rasakan dia menyembunyikan rasa yang sama seperti yang kurasa, tapi seolah semua baik-baik saja. Ya Rabb, ampunilah dosa hambamu ini berilah kekuatan pada hamba, tetesilah hati hamba dengan sejuknya embun.
****

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar