Label

Selasa, 27 Maret 2012

Tangis SI Kecil tadi malam



 Hanya aku yang tinggal dirumah pagi ini, tapi aku yakin tidak akan kesepian. Mbak nur ibu beranak satu itu pasti sebentar lagi akan datang. Aku sengaja duduk diteras melihat kabar kampung halamanku yang telah sudah hampir setahun ini aku tinggalkan. Yach, aku memang jarang pulang karena jarak yang bagiku terlalu jauh juga karena pdatnya kegiatan yang tidak mungkin aku tinggalakan. Sedikit aneh, sudah lima kali lek Udin bolak balik seperti harus menyelesaikan sesuatu yang sangat penting, wajahnya seperti cemas. Tapi dia kan memang orang penting dan disiplin mungkin saja dia memang biasa seperti itu.  Atau mungkin hanya sekedar menjajal motor barunya, atau mungkin itu motor orang lain. mana mungkin motor orang lain, kabarnya sekarang dia menjadi Penilik Sekolah. Itu tandanya bertmabah lagi jabatannya. Beruntung adik ibuku mendapatkan suami seperti dia.
“assalamu’alaikum, nduk kamu kok masih dirumah. Ayo kerumah Bu Fatimah.”
“wa’aialaikum salam mbak. Dari tadi saya menunggu sampean mbak”
“loh katanya bu lekmu meninggal kok malah nunggu aku.”
Baru saja kemaren pagi dia datang menggendong putra bungsunya meskpun tinggal menunggu jam saja anak dalam kandungannya melihat dunia. Dan baru kearen sore saat keluarga kami berbuka puasa anaknya lahir dan lagi-lagi seorang jagoan. Tak ada yang tahu kapan dia operasi cecar, mungkin itu sudah menjadi kebiasaan sehingga mungkin tidak perlu berpamitan dengan keluarga.
“ayo nduk, sampean kabari ibumu di toko.”
Entah apa yang aku fikirkan. Keanehan lek Udin terjawab sudah. Karena ini. Tak ada yang pernah menyangka. Dua kali operasi cecar, dua jagoan tak sanggup bertahan. Dan ini kali terakhirnya, jagoan mampu bertahan tapi Ibu menyerah.
Kuhentikan langkahku, delapan orang berbaring lemah. Puluhan mata banjir, semua menatap bocah berusia 12 tahun dengan seragam pramuka duduk lemah dalam pelukan ibuku, air matanya mengalir perlahan sambil mulutnya terus beristigfar. Bocah yang selalu merengek apapun pada seorang wanita cantik, berkulit putih dan berbadan tinggi. Yang selalu dia panggil “Bu’e”. Ambulance datang, abahnya ambruk dalam peluknya. Dia lepaskan pelukan abahnya, dia ciumi wajah cantik ibunya yang tersenyum. Dia elus-elus pipinya. Terus mulutnya beristighfar, meminta semua yang datang memaafkan ibunya dan membacakan Fatihah untuknya. Dia tatap adik kecilnya yang menangis membawa botol susu, bocah kecil berusia satu tahun enam bulan itu yang tak pernah mau melepaskan tangan ibunya saat dia tidur, tidak mau mandi jika bukan ibunya yang mengguyurkan air ketubuh mungilnya, tidak mau makan jika bukan ibunya yang membawa piring nasinya. Dan saat membuka matanya langsung menggandeng tangan ibunya, berkeliling kampung, menyapa siapa saja yang dia tahu meskipun cara bicaranya tidak jelas.
Sedang disudut sana seorang enam tahun menangis dan berucap “menantu kesayanganku”. Dia nenekku. Terus menangis bersama delapan orang yang terbaring lemah. Seorang dokter berambut panajng, entah siapa namanya, berkalungkan teleskop meletakkan dan menyentuh  mereka satu persatu. Berusaha agar mereka cepat pulih.
Hari ini tepat dihari jum’at, 15 Romadlon menggoreskan sejarah yang tak pernah kami sangka. Pertama kalinya aku melihat air mata yang begitu deras mengalir sebanyak ini dikeluarga beasarku. Bahkan orang-orang yang tak aku kenal. Begitu cepat. Tak ada yang memiliki firasat, mungkin si kecil yang sejak tadi sore menangis sampai pagi tadi. Yach, tangisan si kecil tadi malam adalah firasat. Tapi jodoh, umur dan rizki telah di atur oleh sang Maha Segalanya dengan rapi.



Kamis, 15 Maret 2012

SUCIKAH CINTA

Mengapa bulan malam ini terus tersenyum padaku, tak tahukah dia hatiku tak bisa tersenyum? Tapi biarlah, fikirku.
Kepalaku tertunduk, fikirku melayang terbayang goresan tinta dalam kanvas hidupku yang tercecer bersama rasa yang tak tentu, hingga jatuh lalu pergi jauh dan semakin jauh terbang bersama angin. Kerlip kembang api dari arah taman kota mencoba mengalahkan kerlip bintang, indah memang tapi ciptaan Allah akan tetap terindah. Beruntung kamarku ada di lantai tiga. Kami menjuluki komplek VIP, memang hapir semua anak di komplek atas ini memiliki uang jajan yang lebih dibanding yang lain. Padahal tak ada seleksi untuk itu. Kami semua disini sama. Namun kami saja yang kebetulan beruntung bisa melihat keramaian kota, semua lampu kamar menyala saat ada giliran pemadaman lampu, dan seperti sekarang ini, setiap jam delapan malam beberapa dari kami ada yang iseng bermain senter dengan pondok putra.
            Sulit sekali mata ini terpejam, bukan karena Ujian Nasional yang membuat teman-temanku stress sampai nafsu makan mereka hilang. Entah kenapa mata dan hati ini terasa sangat sakit. Kenapa ayang gadis manis yang selalu tersenyum manis saat aku bersamanya enggan pergi? Kenapa adikku benci sekali dengannya. Bayang Ibu yang terdiam meneteskan air mata selalu menusuk hatiku. Bayang ayah yang penuh wibawa tersenyum kecut kepada adik kecilku yang matanya penuh dengan rasa takut, kecewa ingin berontak tapi tangan dan langkagnya terbelenggu. Inginku buang jauh rasa apa ini, membuat dadaku terasa sangat sesak saja.
            Klarkll. . . .
Suara itu. Aku yakin mas Faris datang, satu pesan aku kirim ke mas Faris. Aku ambil jamper hitamku yang tergantung dibelakang lemari. Aku membuka pintu pelan dan mengendap-endap layaknya pencuri. Aku tak menyangka mas Faris sudah menunggu didapur sebuah kamar kosong karena semua juru masak sekarang tidur di aula asrama. Aku  tahu ini hal yang sangat bodoh bahakan aku sudah seperti orang gila berani bertemu mas Faris disini saat semua orang terlelap.
            “ada apa neng? Ini sudah sangat larut. Apa yang mengganggu fikiranmu neng?”
            “entahlah mas, aku tak mengerti. Aku seperti tak mengenal keluargaku sendiri sekarang ini mas. Semua begitu aneh”
npa Mas Faris memelukku. Ada yang aneh, ini salah besar. Tapi hatiku tenang saat dia mengusap lembut kepalaku. Hatiku terus beristighfar, sakit hati, kecewa takut dan entah apa lagi.
            “jangan pernah menyakiti hatimu dengan prasangka buruk neng. Aku yakin neng Nisa akan tetap menjadi bintang dihati ayah, ibu keluargamu dan begitu juga dihatiku.”
Aku hanya mengangguk dan pergi meninggalkan mas Faris. Hatiku sedkit tenang. Aku tak ingin memejamkan mataku malam ini. Aku ingin bermunajat pada Sang pemberi petunjuk. Setelah sholat shubuh aku langsung bersiap pulang, tak sabar rasanya tahu bagaimana keadaan keluargaku. Kejadian kemaren benar-benar mebuatku bingung. Aku yakin aku mendengar ibu menangis, tapi kenapa ayah bilang begitu?
Aku memeilih bus yang bertuliskan daerahku yang ada dijendela belakang bus. Sampai kecamatan tidak ada yang menjemputku, aku mencari ojek karena aku tak sabar dan membutuhkan waktu kalau aku menunggu jemputan.
            Tak ada yang menyambutku. Sepi sekali rumahku, hanya terdengar suara anak-anak yang menghafalkan nadzom imrithy. Aku masuk ke kamar lalu mencium tangannya. Ibu hanya tersenyum dan tidak berkata apapun padaku. Biasanya aku langsung cerewet menceritakan apapun saat aku pulang, tapi kali ini aku memilih keluar dan membiarkan Ibu sendiri. Aku tahu ada yang aneh, tapi biarlah dulu aku harus berusaha mengerti dan hati-hati. Belum sempat aku menutp pintu, ayah menraik tanganku menuntunku duduk disamping ibu.
“ayah minta maaf pada kalian. Pada ibu, ayah tidak bermaksut menyakiti hati ibu. Dan kepadamu nduk, ayah tidak bermaksut membohongimu dengan memintamu menyayangi dia seperti kamu mencintai adikmu. Ayah sudah berusaha, dan keputusan ayah akan tetap menyayangi dia. Bukan berarti menyayangi untuk dinikahi tapi menyayanginya sebagai anak.”
Semua diam, tak akan ada yang bisa merubah keputusan ayah selain ayah sendiri. Ayahku mencintai santrinya, teman adikku. Yang dulu ayah bilang anak angkatnya, sucikah cinta ayah? Lalu sucikah cintaku dengan mas faris? Aku mencintainya karena gamanya, tapi apa yang aku lakukan semalam memeluknya. Ya Rabb, bukankah cinta yang suci adalah cinta yang anugrahkan kepada hambamu dan tidak menyakiiti hati.

Senin, 05 Maret 2012

"nyambung yang kemaren"

Riuh para santri tak sedikitpun membuatku bergeming, hatiku sendiri di tepian jiwaku yang serasa kehilangan ragaku. siang ini  gus Idang menunggu di ruang tengah, aku kumpulkan segenggam tenaga, langkah teriring sholawat berharap ridlo sang Maha Mengetahui.
Beliau mempersilahkan aku duduk tanpa sedikitpun melihatku, dan memanggil mas khoas, dan jiwaku semakin bergetar tak henti aku bertasbih di dalam hati. Dalem sepi tampaknya semua pergi.
Mas Khoas datang, dan tak bisa aku pungkiri rasa rinduku padanya membuat hatiku berdesir, Astagfirullah ampuni hambaMu yang sangat lemah ini. Aku semakin tertunduk lesu, entah apa yang akan beliau katakana. Ini  membuat hatiku semakin terasa tercepit, ach entahlah dan mas Khoas terlihat gugup, sesekali dia melihatku sampai akhirnya Gus Idang membuka pembicaraan membuatku sedikit lega berharap semua akan cepat selesai.
“ Sebelumnya aku minta maaf pada kalian, kepadamu Neng Naura jika mungkin kamu merasa sangat tidak nyaman dengan pertemuan ini,” dan untuk pertama kalinya aku dengar dia memanggil namaku, lidahku kelu dan mas Khoas sibuk memainkan Handphone di tangannya untuk menyembunyikan kegelisahannya yang tetap saja terlihat olehku.
 “ Khoas, aku sangat mengenalmu dan sedikit tahu tentangmu Neng, Khoas kau tahu aku sangat menyayangimu dan membanggakanmu. Dengan prestasimu meskipun jauh dari lubuk hatiku tak berpihak pada pilihanmu menjadi seorang mahasiswa, dan Neng Naura aku mencintaimu karena Allah dan karena orang tua kita, dan aku memanggil kalian karena aku tahu ada cinta di hati kalian, dan kita”
“dari mana mas tahu mas?” mas Khoas curiga, dan hatiku semakin mengecil, terasa sanmgat sesak menahan tangis.
“aku membereskan kamarmu setelah kau pergi ke Syiria 2 tahun lalu, aku menemukan ratusan puisi untuk Neng Naura, lukisan wajahnya dan foto kalian dalam kegiatan osis dan semua surat Naura padamu, tapi ma’afkan aku jika aku tak mampu menolak perjodohan ini. Aku tahu ini sangat sakit untuk kalian tapi ini juga sakit untukku, perjodohan ini adalah amanah, bukan maksutku untuk menunjukkan kemenanganku padamu khoas, selama ini kau selalu menang dan akan selalu menang, dan aku tidak menganggapmu kalah dalam hal ini karena aku tahu cinta Neng Naura masih untukmu, tapi jika kalian memang menginginkan bersama aku yang akan biicara dengan keluarga, meskipun mungkin itu ,,,,,,,,,,,,,,”
“tidak mas, Naura tidak di takdirkan untukku, perjodohan ini memang bukan untukku tapi mas dan Naura, ini bukan perlombaan dan hingga ada yang kalah dan menang, Naura bukanlah emas seperti hadiah perlombaan. Naura adalah cinta. Dulu Naura adalah cintaku mas, dan kini menjadi cinta kita, nanti akan menjadi cinta mas. Aku hanya ingin meminta izin pada mas karena akan sangat sulit untuk membuang cinta ini, dan memberikan kenangan terakhir padanya
”dan Naura ma’afkan aku jika selama ini cintaku telah membuatmu sakit dengan kepergianku tanpa memberimu kabar, tapi percayalah aku selalu mendo’akanmu dan merindukanmu. Selamat tinggal mutira hatiku dan inilah akhir dari kisah sang rajawali. Mas ma’afkan aku jika aku berkata seperti itu pada calon istrimu, tapi aku pastikan itu yang terakhir dan semoga kalian bahagia mas, dan semoga kalian mendapatkan Ridlo Maha pemberi cinta. Dan bolehkah aku meminta sesuatu mas?”
“katakan, insyaAllah aku akn memberikannya.”
“aku ingin mas mengizinkan Naura kuliah, jangan biarkan dia semakin sakit karena tak bisa mendapatkan mimpinya selama ini, aku yakin dia tidak akan mengecewakan mas, aku sangat mengenalnya, 5tahun bukan waktu yang singkat untuk aku sangat mempercayainya dan mengerti dia.’
‘baiklah, aku akan mengizinkannya kuliah.”
            Air mata yang selama ini aku haramkan jatuh karena cinta, kini telah menghujan membasahi hati dan jiwaku yang remuk. Lidahku kelu, tak sedikitpun aku bias berkata, dan mas Khoas seolah tahu apa yang akan aku katakana, hingga dia tak bertanya tentang hatiku.
            Dan akhirnya cinta memang harus memilih, karena hidup adalah pilihan meskipun pahit tapi ada rahasia Allah yang tak mungkin kita tahu. Kita hanya bisa berusaha dan menjaga apa yang kita miliki. Berlapang atas hikmah di balik kisah hidup.

Kamis, 01 Maret 2012

PILIHAN



Nyanyian jangkrik yang menemani riangnya bintang-bintang, bergandengan mengelilingi bulan yang tersenyum manis seolah mereka ingin menghibur hati bidadari yang di selimuti mendung. Aku berdiri di  balik jendela kaca dengan gorden warna biru bermotif bunga- bunga yang sengaja kubuka separo hingga angin malam itu bisa menampar halus tubuhku. Kepalaku tertunduk lesu mengingat untaian kisah yang tercecer dalam kanvas hidupku.
Fikiranku  melayang terlihat wajah almarhum ayah, wajah lembut ibu dan perjodohanku dengan Gus Haydar, putra dari pemilik pesantren Al-Manar di mana aku  tinggal sekarang mulai 6 bulan lalu. Perjodohan yang membuatku terpenjara, aku masih sangat muda untuk menerima ini, tapi aku juga tak sanggup menolak permintaan terakhir ayah. Tak banyak yang aku tahu tentang keluarga pesantren, tapi cukup bagiku untuk tahu siapa gus Idang begitu panggilan akrab calon suamiku. Beliau punya watak yang keras dan kaku, untuk persoalan agama. Beliau selalu menganggap negative mereka yang menjadi mahasiswa dan bukan seorang santri, baginya malaikat tak menanyakan apa gelar yang ia sandang di dunia, itu yang selalu ia katakanan pada kami setelah jama’ah. Lalu bagaimana dengan mimpiku? Aku punya mimpi, menjadi gadis yang berprestasi yang nantinya akan menjadi mahasiswi yang aktif di berbagai organisasi kampus, nantinya lulus dengan predikat coumlout. Apa salahnya aku seperti itu? Toh aku juga menguasai semua ilmu agama yang ayah ajarkan di pesantren meskipun aku putranya tapi aku juga santrinya. Dan bagaimana dengan cintaku, mas Khowas yang dua tahun lalu melanjutkan studynya ke Syiria. Ach biarlah fikirku.
Malam telah sangat larut, aku memutuskan untuk mengakhiri lamunanku dan berharap akan aada mimpi indah yang akan jadi nyata.
Pagi itu kulangkahkan kakiku dengan hati dan jiwa bergetar, di ruang tengah Ibu dan gus Idang telah menungguku, aku lega mereka tak membicarakan pernikahan. Ibu memintaku untuk membantu mempersiapkan kepulangan putra terakhir beliau, entah dari mana dan seperti apa dia aku tak tahu dan tak ingin aku mencari tahu tentang dia, toh nanti aku akan tahu. Hampir semua aku tangani di bantu beberapa santri hanya masak yang tak aku sentuh karena aku memang tak mahir dalam hal memasak, aku seperti bos yang melihat para karyawannya bekerja di dapur.
Ba’da magrib semua telah berkumpul, siap menyambut kedatangan sang pengeran. Tapi  tidak bagi gus Idang, entah apa yang dia fikirkkan di sudut ruang yang kecil tapi indah ini. Terdengar suara mobil berhenti di depan dab bunyi kalkson sebagai tanda sang pangeran datang semua keluar dan neng Novi menggandeng tanganku mengajakku keluar. Semua menyalami dan memeluknya. Dan aku tak sanggup lagi melangkahkan kakiku, hatiku tercambuk, jiwaku terpaku, dia cintaku. Dia mas Khowas, mas khowasku adalah gusku, cintaku akan menjadi adikku nanti, terbersit rasa bahagia senyumnya telah kembali tapi matanya ku rasakan dia menyembunyikan rasa yang sama seperti yang kurasa, tapi seolah semua baik-baik saja. Ya Rabb, ampunilah dosa hambamu ini berilah kekuatan pada hamba, tetesilah hati hamba dengan sejuknya embun.
****

BERSAMBUNG